A.
Definisi
Kata
“kontekstual” berasal dari “konteks” yang dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia
mengandung dua arti: 1) bagian sesuatu uraian atau kalimat yang dapat mendukung
atau menambah kejelasan makna; 2) situasi yang ada hubungan dengan suatu
kejadian.
Pembelajaran kontekstual (Contextual
Teaching and Learning) merupakan konsep belajar yang membantu guru mengaitkan
antara materi yang diajarkan dengan situasi dunia nyata siswa dan mendorong
siswa membuat hubungan antara pengetahuan yang dimilikinya dengan penerapannya
dalam kehidupan mereka sebagai anggota keluarga dan masyarakat.
Model pembelajaran kontekstual tidak
bersifat ekslusif akan tetapi dapat digabung dengan model-model pembalajaran
yang lain, misalnya: penemuan, keterampilan proses, eksperimen, demonstrasi,
diskusi, dan lain-lain. Pendekatan kontekstual dapat diimplementasikan dengan
baik, dituntut adanya kemampuan guru yang inovatif, kreatif, dinamis, efektif
dan efisien guna menciptakan pembelajaran yang kondusif. Guru tidak lagi
menjadi satu-satunya narasumber dalam pembelajaran dan kegiatan telah beralih
menjadi siswa sebagai pusat kegiatan pembelajaran serta peran guru hanya
sebagai motivator dan fasilitator, maka semangat siswa dapat meningkat dengan
menggunakan metode, materi, dan media yang bervariasi.
Johnson, mengartikan pembelajaran
kontekstual adalah suatu proses pendidikan yang bertujuan membantu siswa
melihat makna dalam bahan pelajaran yang mereka pelajari dengan cara
menghubungkannya dengan konteks kehidupan mereka sehari-hari, yaitu dengan
konteks lingkungan pribadinya, sosialnya, dan budayanya
Beberapa ahli mengemukakan definisi
tentang metode pembelajaran CTL. Menurut Sanjaya (2006). CTL adalah suatu
strategi belajar mengajar yang menekankan kepada proses keterlibatan mahasiswa
secara penuh untuk dapat menemukan materi yang dipelajari dan menghubungkannya
dengan situasi kehidupan nyata sehingga mendorong mahasiswa untuk dapat
menerapkannya dalam kehidupan mereka.
Dari konsep CTL tersebut ada tiga hal
yang harus dipahami. Pertama, CTL menekankan kepada proses keterlibatan
mahasiswa untuk menemukan materi, artinya proses belajar diorientasikan pada
proses pengalaman secara langsung. Proses belajar dalam konteks CTL tidak
mengharapkan agar mahasiswa hanya menerima materi perkuliahan, akan tetapi
proses mencari dan menemukan sendiri pengetahuannya.
Kedua, CTL mendorong agar mahasiswa
dapat menemukan hubungan antara materi yang dipelajari dengan situasi kehidupan
nyata, artinya mahasiswa dituntut untuk dapat menangkap hubungan antara pengalaman
belajar dengan kehidupan nyata. Hal ini sangat penting, sebab dengan dapat
mengorelasikan materi yang ditemukan dengan kehidupan nyata, bukan saja bagi
mahasiswa materi itu akan bermakna secara fungsional, akan tetapi materi yang
dipelajarinya akan tertanam erat dalam memori mahasiswa , sehingga tidak akan
mudah dilupakan.
Ketiga, CTL mendorong mahasiswa untuk
dapat menerapkannya dalam kehidupan, artinya CTL bukan hanya mengharapkan
mahasiswa dapat memahami materi yang dipelajarinya, akan tetapi bagaimana
materi pelajaran itu dapat mewarnai perilakunya dalam kehidupan sehari-hari.
Materi pelajaran dalam konteks CTL bukan untuk ditumpuk di otak dan kemudian
dilupakan, akan tetapi sebagai bekal mereka dalam mengarungi kehidupan nyata.
B.
Karakteristik
Menurut
Priyatni dalam Krisnawati dan Madya (2004: 56) pembelajaran yang dilaksanakan
dengan menggunakan metode kontekstual memiki karakteristik sebagai berikut:
1. Pembelajaran
yang dilaksanakan dalam konteks yang otentik, artinya pembelajaran diarahkan
agar siswa memiliki keterampilan dalam memecahkan masalah nyata yang dihadapi.
2. Pembelajaran
memberikan kesempatan kepada siswa untuk mengerjakan tugas-tugas yang bermakna.
3. Pembelajaran
dilaksanakan dengan memberikan pengalaman bermakna kepada siswa.
4. Pembelajaran
dilaksanakan melalui kerja kelompok , berdiskusi, dan saling mengoreksi.
5. Kebersamaan,
kerjasama, dan saling memahami satu dengan yang lain secara mendalam merupakan
aspek pembelajaran yang menyenangkan.
6. Pembelajaran
dilaksanakan secara aktif, kreatif, produktif dan memetingkan kerjasama.
7. Pembelajaran
dilaksanakan dengan cara menyenangkan.
C.
Prinsip
Kurikulum
dan pembe1ajaran kontekstua1 perlu didasarkan atas prinsip dan strategi
pembe1ajaran yang mendorong terciptanya lima bentuk pembelajaran
"relating, experiencing, applying, cooperating, and transferring"
(http://www.cord.org/lev2.cfm/143 : 1; Dep diknas 2002b: 20-21). Penjelasan
masing-masing prinsip atau strategi tersebut adalah sebagai berikut.
1. Keterkaitan/Re1evansi
(Relating)
Proses pembelajaran hendaknya
memi1iki keterkaitan (relevan) dengan bekal pengetahuan (prerequisite
knowledge) yang telah ada pada diri siswa, (relevansi antar faktor internal
seperti bekal pengetahuan, keterampilan, bakat, minat, denganfaktor ekstemal
seperti ekspose mediadan pembelajaran oleh guru dan lingkungan luar), dan dengan
konteks pengalaman dalam kehidupan dunia nyata seperti manfaat untuk bekal
bekerja di kemudian hari dalam kehidupan masyarakat. Pada pelajaran
"pengubinan" pada Matematika, misalnya, sangat berguna jika seorang
siswa ingin menjadi pengusaha tegel atau menjadi interior designer. Pelajaran
sosiologi, sosiatri, hukum adat, dan antroplogi budaya juga berguna bagi siswa
yang akan bekerja sebagai polisi, hakim, jaksa, dan pengelola Lembaga Swadaya
Masyarakat.
2. Pengalaman
Langsung (Experiencing)
Dalam proses
pembelajaran siswa perlu mendapatkan pengalaman langsung melalui kegiatan
eksplorasi, penemuan Kontskstual (discovary), inventory, investigasi,
penelitian, dan sebagainya. Experiencing dipandang sebagai jantung pembelajaran
kontekstual (http://www.cord.org/lev2.cfin/l43: I). Proses pembelajaran akan
berlangsung cepat jika siswa diberi kesempatan untuk memanipulasi peralatan,
memanfaatkan sumber belajar, dan melakukan bentuk bentuk kegiatan penelitian yang
lain secara aktif. Untuk mendorong daya tarik dan motivasi, sangatiah
bermanfaat penggunaan strategi pembelajaran dan media seperti audio, video,
membaca dan menelaah bukuteks, dsb.
3. Aplikasi
(Applying) Menerapkan fakta, konsep, prinsip, dan prosedur yang dipelajari
dalam situasi dankonteksyanglainmerupakanpembelajaran tingkat tinggi, lebih
daripada sekedar menghafai. Kemampuan siswa untuk menerapkan materi yang telah
dipelajari guna diterap-kan pada situasi lain yang berbeda merupakan penggunaan
(use) fakta konsep, prinsip atau proseduratau"pencapaian tujuan
pembelajarandalam bentuk menggunakan (use )"(Merrill & Reigeluth,
1987: 17). Kemampuan siswa menerapkan konsep dan informasi dalam konteks yang
bermanfaat juga dapat mendorong siswa untuk memikirkan karir dan pekerjaan di
masa depan yang mereka minati. Dalam pembelajaran kontekstual, penerapan ini
lebih banyak diarahkanpadadumakerja. Dalam kegiatan pembelajaran di kelas,
pengenalan dunia kerja ini dilaksankan dengan menggunakan buku teks, video,
laboratorium, dan bila memungkinJs.an ditindaklanjuti dengan
memberikanpengalaman langsung melalui kegiatan karyawisata,praktekkeIja
lapangan, magang (internship), dansebagainya.
4. Kerjasama
(Cooperating) Kerjasama dalam konteks saling tukar pikiran, mengajukan dan menjawab
pertanyaan, komunikasi interaktif antara sesama siswa, antara siswa dengan
guru, antara siswa dengan nara sumber, memecahkan masalah dan mengerjakan tugas
bersama merupakan strategi pembelajaran pokok dalam pembelajaran kontekstual.
Pengalaman bekerjasama tidak hanya membantu siswa belajar menguasai materi pembelajaran
tetapi juga sekaligus memberikan wawasan pada dunia nyata bahwa untuk menyelesaikan
suatu tugas akan lebih berhasil jika dilakukan "secara bersama-sama atau
kerjsama dalam bentuk tim kerja. Kerja laboratorium sebagai strategi utama CTL
pada dasarnya juga merupakan bentuk kerjasama. Pada umumnya siswa bekerja dalam
bentuk pasangan atau kelompok kecil yang terdiri 3 - 4 orang untuk menye1esaikan
tugas laboratorium. Penyelesaian tugas laboratorium memerlukan perwakilan yang bertugas
mengamati, menulis, menyusun laporan, diskusi, dan sebagainya. Kualitas hasil
kerja tim tergantung dari kualitas kerjasama di antara anggota tim.
5. Alih
Pengetahuan(Transferring)
Pembelajaran
kontekstual menekankan pada kemampuan siswa untuk mentransfer pengetahuan,
keterampilan, dan sikap yang telah dimiliki pada situasi lain. Dengan kata
lain, pengetahuan dan keterampilan yang telah dimiliki bukan sekedar untuk
dihafal tetapi dapat digunakan, diaplikasikan, atau dialihkan pada situasi dan
kondisi lain. Kemampuan siswa untuk menerapkan materi yang telah dipelajari
untuk memecahkan masalah-masalah baru merupakan penguasaan strategi kognitif (Gagne,
1988: 19) atau pencapaian tujuan pembelajaran dalam bentuk menemukan (finding)
" (Reigeluth& Merrill, 1987: 17). Dengan mengetahui sifat-sifat aliran
air sungai, dengan mengetahui prinsip-prinsip kerja dinamo, dan baling-baling
(turbin), misalnya, siswa dapat membuat pembangkit listrik tenaga air sungai untuk
memecahkan masalah kelangkaan penerangan.
D.
Komponen
Menurut Nurhadi (2002: 10) sebuah kelas
dikatakan menggunakan pendekatan kontekstual, jika menerapkan tujuh komponen
utama contextual teaching and learning berikut, yaitu:
1. Konstruktivisme
(constructivism)
Konstruktivisme
adalah proses membangun atau menyusun pengetahuan baru dalam struktur kognitif
siswa berdasarkan pengalaman. Menurut konstruktivisme, pengetahuan itu memang
berasal dari luar akan tetapi dikonstruksi dari dalam diri seseorang (Sanjaya,
2006:264).
Muslich
(2009:44) mengemukakan konstruktivisme adalah proses pembelajaran yang
menekankan terbangunnya pemahaman sendiri secara aktif, kreatif dan produktif
berdasarkan pengetahuan terdahulu dan dari pengalaman belajar yang bermakna.
Pengetahuan bukanlah serangkaian fakta, konsep, dan kaidah yang siap
dipraktikannya. Manusia harus mengkonstruksikannya terlebih dahulu pengetahuan
itu dan memberikan makna melalui pengalaman nyata.
Berdasarkan
pendapat di atas dapat dianalogikan bahwa siswa lahir dengan pengetahuan yang
masih kosong. Dengan menjalani kehidupan dan berinteraksi dengan lingkungannya,
siswa mendapat pengetahuan awal yang diproses melalui pengalaman-pengalaman
belajar untuk memperoleh pengetahuan baru. Dalam hal ini anak akan belajar
lebih bermakna dengan cara bekerja sendiri, menemukan sendiri, dan
mengkonstruksi sendiri pengetahuan dan ketrampilan barunya.
2. Menemukan
(inquiry)
Komponen kedua dalam
CTL adalah inquiri. Inquiri, artinya proses pembelajaran didasarkan pada
pencairan dan penemuan melalui proses berpikir secara sistematis. Secara umum
proses Inquiri dapat dilakukan melalui beberapa langkah, yaitu: merumuskan
masalah, mengajukan hipotesa, mengumpulkan data, menguji hipotesis, dan membuat
kesimpulan (Sanjaya, 2006:265).
Menemukan (Inquiri) merupakan
proses pembelajaran didasarkan pada pencarian dan penemuan. Kegiatan ini
diawali dari pengamatan terhadap fenomena, dilanjutkan dengan kegiatan-kegiatan
bermakna untuk menghasilkan temuan yang diperoleh sendiri oleh siswa.
Pengetahuan dan ketrampilan yang diperoleh siswa tidak dari hasil
mengingat seperangkat
fakta, akan tetapi hasil menemukan sendiri dari
fakta yang dihadapinya
Muslich (2009:45).
Berdasarkan pendapat di
atas dapat dikatakan bahwa pengetahuan bukanlah sejumlah fakta dari mengingat,
akan tetapi hasil dari proses menemukan sendiri. Dengan demikian, dalam proses
perencanaan guru bukanlah mempersiapkan sejumlah materi yang harus dihafal akan
tetapi merancang pembelajaran yang memungkinkan siswa dapat menemukan sendiri
materi yang harus dipahaminya.
3. Bertanya
(questioning)
Belajar pada hakekatnya
adalah bertanya dan menjawab pertanyaan. Bertanya dapat dipandang sebagai
refleksi dari keingintahuan setiap individu, sedangkan menjawab pertanyaan
mencerminkan kemampuan seseorang dalam berpikir (Sanjaya,
2006:266).
Menurut Mulyasa
(2009:70) menyebutkan ada 6 keterampilan bertanya dalam kegiatan pembelajaran,
yakni pertanyaan yang jelas dan singkat, memberi acuan, memusatkan perhatian,
memberi giliran dan menyebarkan pertanyaan, pemberian kesempatan berpikir, dan
pemberian tuntunan. Dalam pembelajaran melalui CTL guru tidak menyampaikan
informasi begitu saja, akan tetapi memancing agar siswa dapat menemukan
sendiri. Karena itu peran bertanya sangat penting, sebab melalui
pertanyaan-pertanyaan guru dapat membimbing dan mengarahkan siswa untuk
menemukan setiap materi yang dipelajarinya.
4. Masyarakat
belajar (learning community)
Didasarkan pada
pendapat Vygotsky, bahwa pengetahuan dan pemahaman anak banyak dibentuk oleh
komunikasi dengan orang lain. Permasalahan tidak mungkin dipecahkan sendirian,
tetapi membutuhkan bantuan orang lain. Konsep masyarakat belajar (Learning
Comunity) dalam CTL hasil pembelajaran diperoleh melalui
kerja sama dengan orang
lain, teman, antar kelompok, sumber lain dan
bukan hanya guru
(Sanjaya, 2006:267).
Muslich (2009:46)
mengemukakan konsep masyarakat belajar dalam CTL menyarankan agar hasil
pembelajaran diperoleh melalui kerjasama dengan orang lain. Hal ini berarti
bahwa hasil belajar bisa diperoleh dengan sharing antar teman, antar kelompok,
dan antar yang tahu kepada yang tidak tahu, baik di dalam maupun di luar kelas.
5. Pemodelan
(modeling)
Pemodelan adalah proses
pembelajaran dengan memperagakan sesuatu sebagai contoh yang dapat ditiru oleh
setiap siswa. Modeling merupakan azas yang cukup penting dalam pembelajaran
CTL, sebab melalui modeling siswa dapat terhindar dari pembelajaran yang
teoritis (abstrak) yang dapat memungkinkan terjadinya verbalisme (Sanjaya,
2006:267).
Konsep pemodelan
(modeling), dalam CTL menyarankan bahwa pembelajaran ketrampilan dan
pengetahuan tertentu diikuti dengan model yang bisa ditiru siswa. Model yang
dimaksud bisa berupa pemberian contoh tentang cara mengoperasikan sesuatu,
menunjukan hasil karya, mempertontonkan suatu penampilan. Cara pembelajaran
seperti ini, akan lebih cepat dipahami siswa dari pada hanya bercerita atau
memberikan penjelasan kepada siswa tanpa ditunjukan model atau contohnya
(Muslich, 2009:46).
Pemodelan pada dasarnya
membahasakan gagasan yang dipikirkan, mendemonstrasikan bagaimana guru
menginginkan para siswanya untuk belajar, dan melakukan apa yang guru inginkan
agar siswanya melakukan. Pemodelan dapat berbentuk demonstrasi, pemberian
contoh tentang konsep atau aktivitas belajar. Guru memberi model tentang bagaimana
cara belajar. Dalam pembelajaran kontekstual, guru bukan satu-satunya model,
akan tetapi model dapat dirancang dengan melibatkan siswa atau juga dapat
didatangkan dari luar.
6. Refleksi
(reflection)
Refleksi adalah proses
pengendapan pengalaman yang telah dipelajari dengan cara mengurutkan kembali
kejadian-kejadian atau peristiwa pembelajaran yang telah dilaluinya. Dalam
proses pembelajaran dengan CTL, setiap berakhir proses pembelajaran, guru
memberikan kesempatan kepada siswa untuk merenung atau mengingat kembali apa
yang telah dipelajarinya (Sanjaya, 2006:268).
Berdasarkan pendapat di
atas dapat dikatakan bahwa dengan memikirkan apa yang baru saja dipelajari atau
pengalaman yang terjadi dalam pembelajaran, siswa akan menyadari bahwa
pengetahuan yang baru diperolehnya merupakan pengayaan atau revisi dari
pengetahuan yang telah dimiliki sebelumnya.
7. Penilaian
yang riil (authentic assessment)
Penilaian nyata adalah
proses yang dilakukan guru untuk mengumpulkan informasi tentang perkembangan
belajar yang dilakukan siswa. Penilaian
ini diperlukan untuk mengetahui apakah siswa benar-benar belajar atau tidak,
apakah pengalaman belajar siswa memiliki pengaruh yang positif terhadap
perkembangan baik intelektual ataupun mental siswa. Pembelajaran CTL lebih
menekankan pada proses belajar bukan sekedar pada hasil belajar (Sanjaya,
2006:268).
Muslich (2009:47)
Penilaian yang sebenarnya (authentic assesment) merupakan proses pengumpulan
berbagai data yang bisa memberikan gambaran atau informasi tentang perkembangan
pengalaman belajar siswa. Gambaran perkembangan pengalaman belajar siswa perlu
diketahui oleh guru setiap saat agar bisa memastikan bahwa siswa mengalami
proses pembelajaran yang benar. Berdasarkan pendapat tersebut dapat dikatakan
dalam pembelajaran CTL penilaian bukan sekedar pada hasil belajar, akan tetapi
lebih menekankan pada proses belajar juga. Apabila data yang dikumpulkan guru mengidentifikasikan bahwa
siswa mengalami kemacetan dalam pembelajaran, maka guru bisa segera melakukan
tindakan yang tepat agar siswa terbebas dari kemacetan tersebut.
E.
Kelebihan
dan Kekurangan
Kelebihan
pembelajaran contextual teaching and learning(CTL) :
1) Pemahaman
siswa terhadap konsep matematika tinggi sebagai berikut konsep ditemukan
sendiri oleh siswa karena siswa menerapkan apa yang dipelajari dikehidupan
sehari-hari
2) Siswa
terlibat aktif dalam memecahkan dan memiliki keterangan berfikir yang lebih
tinggi karena siswa dilatih untuk mengunakan berfikir memecahkan suatu masalah
dalam mengunakan data memahami masalah untuk memecahkan suatu hasil
3) Pengetahuan
tentang materi pembelajaran tertanam berdasarkan skema yang dimiliki siswa
sehingga pembelajaran CTL akan lebih bermakna
4) Siswa
dapat merasakan dengan masalah yang konteks bagi siswa hal ini dapat
mengakibatkan motivasi kesukaran siswa terhadap belajar matematika semakin
tinggi
5) Siswa
menjadi mandiri
6) Pencapaian
ketuntasan belajar siswa dapat diharapkan
Kekurangan
pembelajaran contextual teaching and learning(CTL) :
1) Waktu
yang dibutuhkan dalam pembuatan amat banyak karena siswa ditentukan menemukan
sendiri suatu konsis sedangkan guru hanya berperan sebagai fasilitator, hal ini
dapat berakibat pada tahap awal materi kadang-kadang tidak tuntas
2) Tidak
semua komponen pembelajaran contextual teaching and learning(CTL) dapat diterapkan
pada seluruh materi pelajaran tetap hanya dapat diterapkan pada materi
pembelajaran yang mengandung prasyarat yang dapat diterapkan contextual
teaching and learning(CTL)
3) Sulit
untuk menambah paradigma guru : guru sebagai pengajar keguru sebagai fasilitator
dan mitra siswa dalam belajar, dalam suatu pembelajaran tentu ada
kelemahan-kelemahannya agar suatu pembelajaran dapat berjalan dengan baik maka
tugas kita sebagai guru adalah meminimalkan kelemahan-kelemahan tersebut dengan
bekerja keras
4) Penerapan
pembelajaran contextual teaching and learning(CTL) Menurut Priyono sebuah kelas
dikatakan mengunakan pendekatan contextual teaching and learning(CTL) jika
menerapkan tujuh (7) konponen tersebut dalam pembelajarannya untuk melaksanakan
pembelajaran contextual teaching and learning(CTL) dapat diterapkan dalam
kurikulum apa saja bidang studi apa saja dan kelas yang bagaimanapun keadaanya.
F.
Contoh
Soal
1. Dua
hari lagi Nova akan merayakan ulang tahunnya, untuk meyambut pesta ulang tahun
tersebut, Nova dan Ibunya pergi ke pasar. Selain membeli bermacam-macam kue,
mereka juga membeli buah-buahan diantaranya Apel dan Jeruk. Ketika sampai
disatu toko, ternyata persediaan toko tersebut hanya tinggal 10 buah apel
dengan berat masing-masing 100 ons, dan 10 buah jeruk dengan berat
masing-masing 200 ons. Karena barang yang dibawa sudah terlalu banyak, maka
nereka memutuskan hanya membeli 2 kg ( 2000 ons) apel dan jeruk.
a) Berapakah
jumlah maisng-masing apel dan jeruk yang dapat mereka beli? (dalam bentuk aljabar)
b) Dari
bentuk Aljabar tersebut, Nova memutuskan untuk membeli jeruk dengan jumlah
paling sedikit, maka berapakah jumlah masing-masing apel dan jeruk yang harus
dibeli Nova dan Ibu?
Penyelesaian :
Misalkan : Buah apel dilambangkan dengan
x
Buah jeruk dilambangkan dengan y
Diketahui : 10 buah apel (10x)
x = 100 ons
10 uah
jeruk (10y)
y = 200 ons
Ditanya :
a) Berapakah
jumlah maisng-masing apel dan jeruk yang dapat mereka beli? (dalam bentuk
aljabar)
b) Dari
bentuk Aljabar tersebut, Nova memutuskan untuk membeli jeruk dengan jumlah
paling sedikit, maka berapakah jumlah masing-masing apel dan jeruk yang harus
dibeli Nova dan Ibu?
Jawaban
nomor a :
Langkah
1, buatlah tabel jumlah apel dan jeruk
Banyak
Buah
|
Apel
(ons)
|
Jeruk
(ons)
|
1
|
100
|
200
|
2
|
200
|
400
|
3
|
300
|
600
|
4
|
400
|
800
|
5
|
500
|
1000
|
6
|
600
|
1200
|
7
|
700
|
1400
|
8
|
800
|
1600
|
9
|
900
|
1800
|
10
|
1000
|
20000
|
Langkah
ke 2, Kemudian buat tabel dimana apel dan jeruk harus berjumlah 2000 ons.
Apel
(ons)
|
200
|
400
|
600
|
800
|
1000
|
Jeruk
(ons)
|
1800
|
1600
|
1400
|
1200
|
1000
|
Jumlah
|
2000
|
2000
|
2000
|
2000
|
2000
|
Langkah
ke 3, Ubah kedalam bentuk Aljabar
Misalkan
:
x
adalah buah apel, dan y adalah buah jeruk
1. 2x
+ 9y
2. 4x
+ 8y
3. 6x
+ 7y
4. 8x
+ 6y
5. 10x
+ 5y
Jadi,
Nova dan Ibu kemungkinan membeli buah apel dan buah jeruk sebanyak:
1. 2
buah apel dan 9 buah jeruk
2. 4
buah apel dan 8 buah jeruk
3. 6
buah apel dan 7 buah jeruk
4. 8
buah apel dan 6 jeruk
5. 10
buah apel dan 5 buah jeruk.
Jawaban nomor b:
Nova memutuskan untuk membeli buah apel
dan buah jeruk sebanyak 10x + 5y yaitu 10 buah apel dan 5 buah jeruk.
Daftar
Pustaka
Kadir.2013.Konsep
Pembelajaran Kontekstual Di Sekolah.Dinamika Ilmu,13,25
Gafur.2003.Penerapan
Konsep dan Prinsip Pembelajaran Kontekstual (Contextual Teaching and Learning) dan desain pesan dalam
pengembangan pembelajaran dan bahan ajar.Cakrawala Pendidikan,3,276-278
Zulaiha.2016.Pendekatan
Contextual Teaching and Learning dan Implementasinya.BELAJEA:Jurnal Pendidikan
Islam,01,46-47
Sabil.2011.Penerapan
Pembelajaran Contextual Teaching & Learning (CTL) Pada Materi Ruang Dimensi
Tiga Menggunakan Model Pembelajaran Berdasarkan Masalah (MPBM).Edumatica,01,46